Minggu sore, saya mengantar rombongan orang tua dan adik-adik yang hendak pulang ke Bogor. Sebuah angkot berpenumpang dua orang berhenti di depan kami dan menawarkan untuk mengantarkan sampai ke tempat tujuan. Setelah menghitung jumlah orang dan melihat tempat yang tersedia, saya isyaratkan kepada sopir angkot bahwa kita tak jadi menaiki kendaraannya karena tak cukup. Dan kami akan menunggu angkot berikutnya.
Tetapi angkot tersebut tetap tak mau jalan dan lagi-lagi sopirnya memaksa agar kami tetap menumpang kenadaraannya dengan meminta penumpang yang ada untuk turun mencari angkot berikutnya. Saya lantas marah dan meminta sopir itu tidak melakukan tindakan yang merugikan penumpang itu. Saya juga meminta kepada penumpang yang ada untuk tidak turun dan biarlah kami yang menunggu angkot berikutnya. Entah kenapa tiba-tiba penumpang yang di dalam angkot itu turun sambil menggendong anaknya dan mempersilahkan kami masuk. Karuan saja saya tambah marah kepada sopir angkot itu dan meminta penumpang sebelumnya naik kembali. Walau akhirnya, kami pun terpaksa naik angkot tersebut setelah sebelumnya bapak yang menggendong anak itu langsung naik angkot yang tiba berikutnya. Sepanjang perjalanan saya hanya diam dan jujur saja, hati ini masih ‘panas’ oleh sikap sopir itu. Sementara isteri saya memandangi sikap saya dengan senyum.
Sepulang dari terminal mengantar rombongan naik bis ke Bogor, saya ditemani isteri mengendarai motor menuju ATM. Malam itu sedikit gerimis dan jalanan mulai becek sehingga saya mengendarai motor sedikit hati-hati. Tapi tiba-tiba sebuah angkot melaju kencang dekat perempatan yang baru saja saya lewati dan nyaris menyerempet motor saya seandainya saya tidak segera benting stir ke bahu jalan. Saya marah dan saya kejar angkot tersebut. Kebetulan ia sedang menurunkan penumpang sehingga tak sulit bagi saya mengejarnya. Yang membuat saya kesal, sopir itu tak menunjukkan rasa bersalahnya dan juga tak minta maaf. Saya tak sempat memakinya dengan kata-kata kasar karena isteri saya segera berbisik, “sudah lah, bang”
Sesampainya di rumah, saya tanyakan kepada isteri saya kenapa satu hari ini saya tidak seperti biasanya. Tidak sabar. Biasanya saya tak pernah ambil pusing dengan sikap sopir angkot yang seenaknya menurunkan penumpang demi mendapatkan penumpang yang lebih banyak. Saya juga selalu menurut kalau kebetulan metromini yang saya tumpangi memindahkan saya dan beberapa penumpang lainnya ke metromini di belakangnya dengan berbagai alasan. Saya kadang hanya berpikir, inilah cara mereka mencari rezeki dan saya harus memakluminya.
Dahulu saya teramat mudah memaafkan sopir angkot yang menyebabkan kecelakaan atas diri saya. Motor saya hancur dan saya harus masuk UGD gara-gara sopir angkot yang berhenti mendadak persis sepersekian detik di depan motor saya yang melaju dengan kecepatan tinggi. Saya menabrak bagian belakang mobil hingga kaca mobil itu pecah. Motor saya hancur dan saya pun terbang hingga jatuh ke selokan. Anehnya, setelah sembuh saya tak dendam terhadap sopir angkot tersebut, saya luluh dengan permintaan maafnya yang tulus.
Mendengar pertanyaan saya tersebut, isteri saya berujar singkat, badahnya kurang kali…” Astaghfirullaah…
Inilah yang selalu membuat saya semakin cinta kepadanya. Kadang saya acapkali terlupa bahwa penasihat terbaik sekaligus terbijak itu ada dan selama ini berdiri mendampingi di samping. Terima kasih ya Allah, alhamdulillah ia isteriku.
Share To:

ANEKA UNDANGAN

Post A Comment:

0 comments so far,add yours