Pernikahan menjadi dambaan banyak orang, terutama para pemuda dan gadis-gadis.

Pernikahan menjadi harapan ketika fungsi-fungsi hormonal tubuh sudah matang. Pernikahan menjadi mimpi indah ketika jiwa tidak lagi bisa dipuaskan dengan menjadi anak ideal. Bahkan, pernikahan menjadi jawaban kongkret atas berbagai “tekanan” sosial yang terus menghantui wanita-wanita Timur.

Fenomena telat menikah bukan monopoli gadis-gadis. Para pemuda pun merasakan tekanan hebat. Semakin bertambah umur, semakin sering berjumpa dengan kenalan, lalu mereka bertanya, “Kapan nikah?” Kenyataan seperti itu adalah tekanan yang bukan main beratnya.

Kelambatan menikah bagi para pemuda dilatar-belakangi banyak faktor, antara lain, belum siap memberi nafkah, belum menemukan calon yang tepat, menjadi tumpuan keluarga, tidak memiliki “modal” cukup untuk melangsungkan acara resepsi sesuai standar modern, kekhawatiran berlebihan melihat beban kehidupan rumah-tangga, terlilit beban utang, mengidap penyakit-penyakit serius dan aneka alasan lain. Masalah ini tidak cukup selesai dengan ucapan, “Wahai ikhwan, rezeki itu dari Allah. Tidak usah takut menikah hanya gara-gara soal rezeki.”

Telat menikah bukan monopoli gadis-gadis biasa. Kalangan Muslimah aktivis, shalihat, para penggiat dakwah, mereka pun merasakan hal yang sama. Hanya, cara mereka menyikapi problema itu lebih halus dan sabar. Realita kerisauan itu tetap ada, hanya lebih terkendali. Namun tidak dipungkiri, ada juga yang berguguran karena tidak kuat menahan tekanan.

Persoalan telat menikah bukan masalah kecil. Kalau disimak, ini adalah persoalan sosial yang cukup serius. Dari titik ini menjalar berbagai persoalan ke tempat-tempat lain. Sikap liberal wanita dalam berbusana, bergaul, bersikap dan lain-lain, sebagiannya tampak dilandasi niatan ingin memenangkan “kompetisi”.
Tanpa disadari, sikap seperti itu justru melahirkan problema-problema baru yang tidak kalah serius: pelecehan seksual, pergaulan bebas, aborsi, demam pornografi, selingkuh dan lain-lain. Lalu apa solusi atas masalah ini? Tentu, kita tidak akan mengatakan, “Semua pihak harus peduli untuk berpikir keras mencari solusi-solusi yang lebih efektif dan efisien.” Budaya basa-basi seperti ini sudah selayaknya dilempar ke museum. Solusi itu bisa digali dengan mengoptimalkan kesadaran positif para Muslimah sendiri.

Pertama, kajilah kembali persoalan pernikahan ini, dari segi keindahan maupun tanggung-jawabnya. Jangan menyepelekan, namun juga jangan ketakutan. Bersikaplah adil. Mempersiapkan diri untuk memikul beban, tapi tetap bersemangat tinggi menyongsong hari-hari penuh sakinah.

Kedua, pikirkan setiap peluang dan jalan-jalan ke arah pernikahan yang mungkin bisa kita dapatkan, sejauh itu halal dan benar. Jangan membuat sekat-sekat sehingga ia akan memenjara diri sendiri, namun juga jangan tergiur oleh aneka bujuk rayu yang bisa menyeret kita ke sudut-sudut menakutkan. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi diri kita.

Ketiga, jangan takut untuk menempuh risiko. Kalau dipikirkan, di dunia ini tidak ada yang tidak berisiko. Kesendirian ada risiko, melaju ke pernikahan adalah risiko, berumah-tangga pun tidak sepi dari risiko. Bukan risiko yang perlu ditakutkan, tapi takutlah jika kita jatuh ke lubang-lubang dosa karena salah melangkah.
Dan terakhir, jawablah seluruh tawaran pernikahan yang datang kepada kita, seideal atau sesederhana apapun tawaran itu dengan jawaban ini, “Saya tidak begitu saja menolak atau menerima, namun beri saya waktu untuk istikharah. Biarlah petunjuk Allah yang akan menjawab ajakan ini.” Lalu tunaikan istikharah sesuai Sunnah Rasul SAW. Jangan putus-putus menunaikan itu hingga hati Anda dilapangkan untuk memilih satu dari dua jawaban, menerima atau menolak.
Wallahu a`lam.
Share To:

ANEKA UNDANGAN

Post A Comment:

0 comments so far,add yours