Menikah di kala kuliah enak gak ya?  Setelah capek, berkutat dengan buku-buku, ‘killer’-nya dosen, tugas-tugas yang gak bosan menanti, tampang kita yang kucel banget, tapi saat di rumah bisa segar lagi lho. Kebayang, ada istri yang menanti, anak yang ribut cerita-cerita, lalu makan bareng, wah…uenak tenan!!!
Tapi ada juga yang sebaliknya, nah lho! Udah capek di kampus, pulang-pulang ke rumah, rumah laksana kapal pecah, anak-anak pada berantem, nangis, wah…kaya’ ginian sepet nih. Belum lagi saat tibanya masa ujian semester, wuaah, hiks…hiks…jadi ingin nangis. Perasaan, kok nikah malah jadi sengsara ya.
Jadi idealnya gimana dong? Nyelesaikan kuliah dulu, baru menikah, atau sambil kuliah juga menikah. Ada lho yang berhasil, dalam artian ‘berani menikah’ dan prestasi tetap dapat diraih. Tapi ya…itu, ada pula yang sebaliknya. Gedubrak! Jadi bingung deh! Masalahnya cinta tak kenal waktu lho, ia hadir begitu saja, gak peduli dengan status kita sebagai mahasiswa.

Ada pula contoh kasus lain, aktifis dakwah kampus, karena ‘dipanas-panasin’ ama sesama aktifis, berani menikah, prestasi kuliah pun bagus, namun futur di jalan dakwah. Lainnya, belum berani menikah dengan alasan menikah akan mengganggu kuliah dan aktifitas dakwah. Hmm…bingung ya. Duh…cinta…cinta, kok gak tau sih kalau saya masih kuliah! Nikoniko (smiles)
Masalah-masalah diatas bukan hanya terjadi pada antum saja lho, banyak banget kasus seperti ini. Karena itu dalam Islam kita kenal istilah Fiqih Muwazanah, atau fiqih untuk membuat pertimbangan-pertimbangan praktis. Atau kerennya sih, kaedah fiqih ini bisa untuk membuat pertimbangan-pertimbangan praktis. Misalnya nih, mana dulu yang penting sih antara menikah saat masih kuliah atau setelah selesai kuliah baru menikah. Atau lagi, berdakwah melalui cara menikah atau lebih mudah berdakwah dengan tidak menikah terlebih dahulu.

Buat ‘kalangan atas’, kaidah fiqih ini sering digunakan juga di kalangan aktifis dakwah yang hendak menikah lagi (ta’addud atau poligami). Pertimbangan mereka sih memang udah beda, mereka mikirnya dengan alasan dakwah perlu menambah seseorang atau lebih gak ya, di samping seorang istri yang udah jadi pendampingnya. Nyambung gak? Kalau gak nyambung di-EGP-in aja, karena ini ‘pembicaraan kalangan atas’, lha 1 aja belum ada, udah bicara ta’addud. he…he…

Wah…akhwat bisa sensitif nih! Kalem…kalem…Tausyiah ini baru membahas tentang menikah sambil kuliah kok, belum ta’addud-ta’addud-an. Ntar kalau masing-masing udah punya 1, baru deh. Glek!
Terkait dengan masalah di atas, kita lihat yuk, bagaimana Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah (juz 2 hal. 12-15, Darul Fikri, tahun 1412 H/1992 M) menjelaskan tentang menikah ini.
Dari buku tersebut, kita bisa membuat khulashah (rangkuman) dari pandangan ulama diatas, yaitu:

1. MENIKAH HUKUMNYA WAJIB
Artinya, jika dilakukan menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala ridho, dan pelakunya mendapatkan pahala, dan jika tidak dilakukan menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala murka dan yang meninggalkannya mendapatkan dosa. Nah, kapan menikah menjadi perbuatan wajib?
Yaitu, apabila memenuhi hal-hal berikut ini:
- Dirinya telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis.
- Nafsu dan jiwanya telah menggelora.
- Terancam atau khawatir terjerumus dalam perzinahan.

2. MENIKAH HUKUMNYA SUNNAT
Bisa sunnat juga lho, artinya jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.
Menikah menjadi perbuatan sunnat, jika kondisinya adalah sebagai berikut:
- Dirinya telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis.
- Nafsu dan jiwanya telah menggelora.
- Tidak ada kekhawatiran dalam dirinya (atau merasa aman) dari perzinahan.

3. MENIKAH HUKUMNYA HARAM
Wuah…menikah kok hukumnya haram ya? Iya, yaitu jika kondisinya adalah:
- Tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis.
- Nafsu dan jiwanya sudah menggelora.
Kalau emang kondisinya kaya’ gini, maka yang mestinya dilakukan adalah hendaklah dia memperbanyak berpuasa dan menyiapkan diri untuk memiliki dua kemampuan di atas, serta menjaga kesucian dirinya.

4. MENIKAH HUKUMNYA MAKRUH
Menikah juga ada yang makruh ya? Yup! Yaitu apabila kondisinya adalah:
- Tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis.
- Nafsu dan jiwanya sudah menggelora.
- Pihak wanitanya menerima kondisi ini.

5. MENIKAH HUKUMNYA MUBAH ATAU JAIZ ATAU BOLEH
Maksudnya, jika kondisi seseorang biasa-biasa saja, tidak ada kondisi yang mewajibkan atau mensunnatkan, dan tidak ada pula kondisi yang mengharamkan atau memakruhkan.
Nah…sekarang udah tahu-kan, bahwa dalam fiqih Islam, hukum pernikahan ada yang wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Ini sesuai dengan keadaan yang bersangkutan lho, artinya tiap orang bisa beda-beda kan.

Sekarang coba merenung deh, atau berdiri depan cermin, kira-kira yang di cermin itu pada posisi mana ya. Hmm…mikir-mikir!
Kalau udah mikir, lalu kesimpulannya bahwa posisi sekarang adalah posisi kedua, maka menurut Ustadz Musyaffa A. Rahim, Lc ada 1 lagi pertimbangan yang harus dilakukan. Wuah…ribet banget sih mau nikah aja! Gak kok, menurut beliau pertimbangan apabila antum pada posisi kedua, yaitu apakah dengan menikah nanti, kuliah akan terganggu atau terhenti?

Kalau menikah akan mengganggu kuliah, dalam artian gangguan serius seperti cuti, apalagi sampai terhenti, maka menikah saat sekarang ini tidaklah masuk kategori sunnat (kedua), namun sebaliknya, yaitu makruh (keempat). Karena menurut beliau lagi, menuntut ilmu hukumnya wajib, sementara menikah pada kondisi seperti diatas ‘hanyalah’ sunnat.

Gimana kalau dalam perhitungan, menikah gak akan menjadi gangguan serius terhadap perkuliahan, bahkan akan menjadi faktor kesuksesan, maka menikah pada kondisi ini paling tidak hukumnya adalah sunnat, bahkan bisa menjadi wajib lho, wallahu a’lam.

Termasuk dalam hal ini, jika udah mikir-mikir sebenarnya sih ada pada posisi makruh (keempat), namun ada akhwat yang mengajak menikah, ehm…ehm…bahkan akhwat itu ngasih jaminan untuk tidak mengganggu perkuliahan, malah mau bantu-bantu, iih…ureshii (senang banget), maka kondisi makruh bisa jadi sunnat. Sebab faktor yang memakruhkannya telah hilang dengan adanya jaminan itu.

Namun lagi-lagi Ustadz Musyaffa menyarankan kepada para ikhwan untuk berpegang pada sifat rujulah (kejantanan), jadi bukan mengandalkan atau menyandarkan diri pada jaminan pihak akhwat. Bukan gak percaya pada jaminan akhwat lho, namun demi menjaga sifat rujulah tersebut. Iya dong, ikhwan itu kan calon ‘qowwam’-nya akhwat dan jundi-jundinya di keluarga! Jadi tunjukkan tuh sifat rujulah!
Kalau udah pada posisi sunnat, maka segera diskusikan dengan orang tua, agar ada tafahum dalam hal ini, jadi kamu puas orangtua pun qana’ah dengan keputusan menikah.

Jadi buruan merenung, mikir…mikir…kalau udah pada posisi emang harus menikah, jangan ‘mbulet’ lho, pake’ alasan sana-sini. Karena kalau sebenarnya udah dalam posisi sehat dan mampu, dan belum menikah maka kata Rasulullah SAW, “Ia adalah termasuk teman setan, atau mungkin termasuk golongan pendeta Nasrani, karena sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk diantara kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang.” [HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah]

Syeeerem kan! Makanya jangan pake ‘mbulet-mbuletan!’
Bukankah dengan menikah, mereka akan disejajarkan Rasulullah SAW dengan mujahid fii sabilillah yang dijanjikan akan mendapat pertolongannya! Karena ada tiga golongan yang menjadi keharusan Allah untuk membantu mereka; orang yang menikah untuk memelihara kesucian diri, budak yang hendak membayar kemerdekaan dirinya, dan orang-orang yang berperang di jalan Allah. [HR Ahmad, Turmudzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah]

Tuh…subhanallah ya, nunggu apa lagi! Kalau udah siap lahir bathin, ikrarkan cinta dengan menikah!
Selamat berjuang akhi, jangan takut mengambil keputusan kalau udah siap (walaupun antum masih kuliah), karena akhwat lebih memilih para ikhwan yang berani mengajaknya menikah untuk bersama mengharapkan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala, daripada yang suka ‘mbulet-mbuletan!’

Doa ana dan istri untuk kemudahan antum…
Wallahu a’lam bi showab.
Share To:

ANEKA UNDANGAN

Post A Comment:

0 comments so far,add yours