Juli 2013
Mukaddimah
Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.
Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.
Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.

Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.



Naskah Hadits

1. عَنْ أَبِي بُرْدَةَ, عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيْهِ -رضي الله عنهما- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لاَ نِكَاحَ إِلاّ بِوَلِيٍّ ."
Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu 'anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
2. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْن مَرْفُوْعًا: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”
3. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَِّ لَهُ. "
Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Takhrij Hadits Secara Global
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.

Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”
Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut
1.      Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”
2.      ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
3.      Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
4.      Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
5.      Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
“Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”
6.      Perbedaan Para Ulama
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…
Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.

Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.
Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.
Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”
Dalil lainnya:
- Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
7.      Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.

Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

- Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
- Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.
8.      Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).
9.      Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.
10.  Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”
Rujukan
- CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX

Dari Ummu Al-Ala', dia berkata :
"Rasulullah S menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya orang muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak".
(Isnadnya Shahih, ditakhrij Abu Daud, hadits nomor 3092)
Wahai Ukhti Mukminah .!
Sudah barang tentu engkau akan menghadapi cobaan di dalam kehidupan dunia ini. Boleh jadi cobaan itu menimpa langsung pada dirimu atau suamimu atau anakmu ataupun anggota keluarga yang lain. Tetapi justru disitulah akan tampak kadar imanmu. Allah menurunkan cobaan kepadamu, agar Dia bisa menguji imanmu, apakah engkau akan sabar ataukah engkau akan marah-marah, dan adakah engkau ridha terhadap takdir Allah ?
Wasiat yang ada dihadapanmu ini disampaikan Rasulullah S tatkala menasihati Ummu Al-Ala' Radhiyallahu anha, seraya menjelaskan kepadanya bahwa orang mukmin itu diuji Rabb-nya agar Dia bisa menghapus kesalahan dan dosa-dosanya.
Selagi engkau memperhatikan kandungan Kitab Allah, tentu engkau akan mendapatkan bahwa yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan mengambil nasihat darinya adalah orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah :
" Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur". (Asy-Syura : 32-33)


Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memuji orang-orang yang sabar dan menyanjung mereka. Firman-Nya.
"Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". (Al-Baqarah : 177)
Engkau juga akan tahu bahwa orang yang sabar adalah orang-orang yang dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya.
"Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar". (Ali Imran : 146)
Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya dan melipatgandakannya tanpa terhitung. Firman-Nya.
"Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan". (An-Nahl : 96)
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". (Az-Zumar : 10)
Bahkan engkau akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari neraka akan mejadi milik orang-orang yang sabar. Firman Allah.
"Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan): 'Salamun 'alaikum bima shabartum'. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu". (Ar-Ra'd : 23-24)
Benar. Semua ini merupakan balasan bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapi cobaan. Lalu kenapa tidak? Sedangkan orang mukmin selalu dalam keadaan yang baik ?
Dari Shuhaib radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah S bersabda:
"Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya".
(HR. Muslim, 8/125 dalam Az-Zuhud)
Engkau harus tahu bahwa Allah mengujimu menurut bobot iman yang engkau miliki. Apabila bobot imanmu berat, Allah akan memberikan cobaan yang lebih keras. Apabila ada kelemahan dalam agamamu, maka cobaan yang diberikan kepadamu juga lebih ringan. Perhatikanlah riwayat ini.
"Artinya : Dari Sa'id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. 'Aku pernah bertanya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ? Beliau menjawab: Para nabi, kemudian orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya. Apabila agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya juga berat. Dan, apabila di dalam agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan seorang hamba sehingga ia meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan pun pada dirinya". (Isnadnya shahih, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 1509, Ibnu Majah, hadits nomor 4023, Ad-Darimy 2/320, Ahmad 1/172)
"Artinya : Dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu anhu, dia berkata. 'Aku memasuki tempat Rasulullah S, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas ditanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. 'Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu'. Beliau berkata: 'Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami'. Aku bertanya. 'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ? Beliau menjawab: 'Para nabi. Aku bertanya. 'Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: 'Kemudian orang-orang shalih. Apabila salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah seorang diantara mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan". (Ditakhrij Ibnu Majah, hadits nomor 4024, Al-Hakim 4/307, di shahihkan Adz-Dzahaby)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. "Rasulullah S berkata :
"Artinya : Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun". (Isnadnya Hasan, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 2510. Dia menyatakan, ini hadits hasan shahih, Ahmad 2/287, Al-Hakim 1/346, dishahihkan Adz-Dzahaby)
Selagi engkau bertanya : "Mengapa orang mukmin tidak menjadi terbebas karena keutamaannya di sisi Rabb?".
Dapat kami jawab : "Sebab Rabb kita hendak membersihkan orang Mukmin dari segala maksiat dan dosa-dosanya. Kebaikan-kebaikannya tidak akan tercipta kecuali dengan cara ini. Maka Dia mengujinya sehingga dapat membersihkannya. Inilah yang diterangkan Nabi S terhadap Ummul 'Ala dan Abdullah bin Mas'ud. Abdullah bin Mas'ud pernah berkata. "Aku memasuki tempat Nabi S dan beliau sedang demam, lalu aku berkata. 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sungguh menderita demam yang sangat keras'.
Rasulullah S berkata. "Benar. Sesungguhnya aku demam layaknya dua orang diantara kamu yang sedang demam".
Abdullah bin Mas'ud berkata. "Dengan begitu berarti ada dua pahala bagi engkau ?"
Beliau menjawab. "Benar". Kemudian beliau berkata. "Tidaklah seorang muslim menderita sakit karena suatu penyakit dan juga lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan penyakit itu, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya". (Ditakhrij Al-Bukhari, 7/149. Muslim 16/127)
Dari Abi Sa'id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar Rasulullah S berkata.
"Artinya : Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya". (Ditakhrij Al-Bukhari 7/148-149, Muslim 16/130)
Sabar menghadapi sakit, menguasai diri karena kekhawatiran dan emosi, menahan lidahnya agar tidak mengeluh, merupakan bekal bagi orang mukmin dalam perjalanan hidupnya di dunia. Maka dari itu sabar termasuk dari sebagian iman, sama seperti kedudukan kepala bagi badan. Tidak ada iman bagi orang yang tidak sabar, sebagaimana badan yang tidak ada artinya tanpa kepala. Maka Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata. "Kehidupan yang paling baik ialah apabila kita mengetahuinya dengan berbekal kesabaran". Maka andaikata engkau mengetahui tentang pahala dan berbagai cobaan yang telah dijanjikan Allah bagimu, tentu engkau bisa bersabar dalam menghadapi sakit. Perhatikanlah riwayat berikut ini.
"Artinya : Dari Atha' bin Abu Rabbah, dia berkata. "Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku. 'Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni sorga ? Aku menjawab. 'Ya'. Dia (Ibnu Abbas) berkata. "Wanita berkulit hitam itu pernah mendatangi Nabi S, seraya berkata. 'Sesungguhnya aku sakit ayan dan (auratku) terbuka. Maka berdoalah bagi diriku. Beliau berkata. 'Apabila engkau menghendaki, maka engkau bisa bersabar dan bagimu adalah sorga. Dan, apabila engkau menghendaki bisa berdo'a sendiri kepada Allah hingga Dia memberimu fiat'. Lalu wanita itu berkata. 'Aku akan bersabar. Wanita itu berkata lagi. 'Sesungguhnya (auratku) terbuka. Maka berdo'alah kepada Allah bagi diriku agar (auratku) tidak terbuka'. Maka beliau pun berdoa bagi wanita tersebut". (Ditakhrij Al-Bukhari 7/150. Muslim 16/131)
Perhatikanlah, ternyata wanita itu memilih untuk bersabar menghadapi penyakitnya dan dia pun masuk sorga. Begitulah yang mestinya engkau ketahui, bahwa sabar menghadapi cobaan dunia akan mewariskan sorga. Diantara jenis kesabaran menghadapi cobaan ialah kesabaran wanita muslimah karena diuji kebutaan oleh Rabb-nya. Disini pahalanya jauh lebih besar.
Dari Anas bin Malik, dia berkata. "Aku pernah mendengar Rasulullah S berkata.
"Artinya : Sesungguhnya Allah berfirman. 'Apabila Aku menguji hamba-Ku (dengan kebutaan) pada kedua matanya lalu dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya itu dengan sorga". (Ditakhrij Al-Bukhari 7/151 dalam Ath-Thibb. Menurut Al-Hafidz di dalam Al-Fath, yang dimaksud habibatain adalah dua hal yang dicintai. Sebab itu kedua mata merupakan anggota badan manusia yang paling dicintai. Sebab dengan tidak adanya kedua mata, penglihatannya menjadi hilang, sehingga dia tidak dapat melihat kebaikan sehingga membuatnya senang, dan tidak dapat melihat keburukan sehingga dia bisa menghindarinya.)
Maka engkau harus mampu menahan diri tatkala sakit dan menyembunyikan cobaan yang menimpamu. Al-Fudhail bin Iyadh pernah mendengar seseorang mengadukan cobaan yang menimpanya. Maka dia berkata kepadanya. "Bagaimana mungkin engkau mengadukan yang merahmatimu kepada orang yang tidak memberikan rahmat kepadamu ?"
Sebagian orang Salaf yang shalih berkata : "Barangsiapa yang mengadukan musibah yang menimpanya, seakan-akan dia mengadukan Rabb-nya".
Yang dimaksud mengadukan di sini bukan membeberkan penyakit kepada dokter yang mengobatinya. Tetapi pengaduan itu merupakan gambaran penyesalan dan penderitaan karena mendapat cobaan dari Allah, yang dilontarkan kepada orang yang tidak mampu mengobati, seperti kepada teman atau tetangga.
Orang-orang Salaf yang shalih dari umat kita pernah berkata. "Empat hal termasuk simpanan sorga, yaitu menyembunyikan musibah, menyembunyikan (merahasiakan) shadaqah, menyembunyikan kelebihan dan menyembunyikan sakit".
Ukhti Muslimah !
Selanjutnya perhatikan perkataan Ibnu Abdi Rabbah Al-Andalusy : "Asy-Syaibany pernah berkata. 'Temanku pernah memberitahukan kepadaku seraya berkata. 'Syuraih mendengar tatkala aku mengeluhkan kesedihanku kepada seorang teman. Maka dia memegang tanganku seraya berkata. 'Wahai anak saudaraku, janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah. Karena orang yang engkau keluhi itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai teman atau lawan. Kalau dia seorang teman, berarti dia berduka dan tidak bisa memberimu manfaat. Kalau dia seorang lawan, maka dia akan bergembira karena deritamu. Lihatlah salah satu mataku ini, 'sambil menunjuk ke arah matanya', demi Allah, dengan mata ini aku tidak pernah bisa melihat seorangpun, tidak pula teman sejak lima tahun yang lalu. Namun aku tidak pernah memberitahukannya kepada seseorang hingga detik ini. Tidakkah engkau mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (Yusuf) : "Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku". Maka jadikanlah Allah sebagai tempatmu mengadu tatkala ada musibah yang menimpamu. Sesungguhnya Dia adalah penanggung jawab yang paling mulia dan yang paling dekat untuk dimintai do'a". (Al-Aqdud-Farid, 2/282)
Abud-Darda' Radhiyallahu anhu berkata. "Apabila Allah telah menetapkan suatu takdir, maka yang paling dicintai-Nya adalah meridhai takdir-Nya". (Az-Zuhd, Ibnul Mubarak, hal. 125)
Perbaharuilah imanmu dengan lafazh laa ilaaha illallaah dan carilah pahala di sisi Allah karena cobaan yang menimpamu. Janganlah sekali-kali engkau katakan : "Andaikan saja hal ini tidak terjadi", tatkala menghadapi takdir Allah.
Sesungguhnya tidak ada taufik kecuali dari sisi Allah.

Sumber :
“Buku 50 Wasiat Rasulullah S bagi Wanita”
oleh Majdi As-Sayyid Ibrahim, terbitan Pustaka Al-Kautsar, cetakan kelima.
Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan
timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau,
bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping,
dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan
keraguan.

Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar
dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam
mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum
muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini
mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya.

Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah.
Bergembiralah wahai saudaraku?



1. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)?. (An Nuur : 26)
Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah
sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh,
jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik
buat kita. Amin.

2. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui?. (An Nuur: 32)

Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan
menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan
anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada
perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah
yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, apa
cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian??.

Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke
jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada
para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah,
dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan
besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan
menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para
pemuda bertambah ? dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan
anak-anaknya, maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah
kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin
tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki
yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?

3. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu
seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya
merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya?.
(HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan
Hakim 2: 160) [1]

Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka
berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan
Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan
pertolongan Allah itu pasti datang.

4. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir?. (Ar Ruum : 21)

5. Dan Tuhanmu berfirman : ?Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina? ?.
(Al Mu'min : 60)

Ini juga janji Allah Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah
niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa
memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut,
dan seterusnya.

Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya
adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat,
mengangkat kedua tangan, dll. [2]

Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya
adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah
Azza wa Jalla turun ke langit dunia [3], pada waktu antara adzan dan
iqamah, pada waktu turun hujan, dll. [4]

Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan
minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang
haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dan lain-lain. [5]

Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah,
mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya,
mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst.

Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke
dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang
menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam.
Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan
sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh
malam?. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad). [6]

Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Maka janganlah
kamu mendatangi dukun-dukun itu.? (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35).
[7]

Telah bersabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ?Sesungguhnya
jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah
(hukumnya) syirik.? (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu
Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim). [8]

6. Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat?. (Al
Baqarah : 153)
Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar
datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan
Sunnah Nabi Shallallahu ?alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai
Sunnahnya dan terbebas dari bid'ah-bid'ah.

7. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan?. (Alam Nasyrah : 5 ? 6)
Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak
kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik
sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.

8. Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu?. (Muhammad : 7)
Agar Allah Tabaraka wa Ta'ala menolong kita, maka kita tolong agama
Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah
Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu
penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.

9. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa?. (Al Hajj : 40)

10. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat?. (Al
Baqarah : 214)


Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun
Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih
sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka
kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim.

Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah?




Footnote:
[1] Lihat Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam,
Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995, hal. 12
[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do?a, Pustaka
Imam Asy-Syafi?i, Cet. I, Des 2004, hal. 1 ? 2
[3] Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam
terakhir. Allah lalu berfirman, ?Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku
kabulkan! Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri! Siapa yang
meminta ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni.? Demikianlah keadaannya hingga
fajar terbit. (HR. Bukhari 145, Muslim 758) (lihat Tahajjud Nabi, Sa?id
bin ?Ali bin Wahf Al Qahthani, Media Hidayah, Sept. 2003, hal. 27).
[4] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do?a, Pustaka
Imam Asy-Syafi?i, Cet. I, Des 2004, hal. 8 ? 14
[5] Idem, hal. 15 ? 22
[6] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al ? Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul
Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M, hal. 103
[7] Idem, hal. 105
[8] Idem, hal. 101

--------------------------------------------------------------------------------

Referensi: Referensi : Footnote: [1] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep
Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995 [2] Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do?a, Pustaka Imam
Asy-Syafi?i, Cet. I, Des 2004 [3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab &
Sebab Terkabulnya Do?a, Pustaka Imam Asy-Syafi?i, Cet. I, Des 2004 [4]
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al ? Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam,
Jakarta, Cet. II, 2004 M
MUKADDIMAH

Kita sering menyaksikan ada sekelompok ibu-ibu yang berkumpul, lalu 'nyerempet-nyerempet' bercerita tentang hal-hal yang amat sensitif dan pribadi dari rahasia rumah tangganya, seperti menbeberkan masalah hubungan seksualnya dengan sang suami tanpa sedikitpun rasa malu apalagi canggung. Atau membeberkan 'aib sang suami yang tidak boleh diketahui orang lain. Demikian pula sebaliknya, terkadang ada sekelompok bapak-bapak yang membeberkan hal seperti itu.
Apakah hal seperti dibolehkan? atau adakah kondisi yang membolehkannya?


NASKAH HADITS

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: "إِنّ مِنْ أَشَرّ النّاسِ عِنْدَ اللّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, الرّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ, وَتُفْضِي إِلَيْهِ, ثُمّ يَنْشُرُ سِرّهَا". أخرجه مسلم
Dari Abu Sa'id al-Khudriy, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukanna di Hari Kiamat, adalah seorang laki-laki (suami) yang bercampur (bersetubuh) dengan isterinya, kemudian membeberkan rahasia (isteri)-nya tersebut." (HR.Muslim)

Kosa Kata

a. Secara bahasa kata إفضاء (ism mashdar [kata benda] dari kata kerja أفضى يفضي menurut Imam al-Qurthubiy artinya المخالطة (percampuran).

Al-Hirawiy, al-Kalbiy dan selain keduanya berkata, maknanya adalah perbuatan seorang laki-laki (suami) menyendiri (berduaan) dengan isterinya sekalipun tidak menyetubuhinya.
Ibn 'Abbas, Mujahid dan as-Suddiy berkata, maknanya adalah jima' (bersetubuh).

b. Kata سر (rahasia), maksudnya adalah hubungan seksual dan hal-hal yang berlangsung antara keduanya ketika melakukan itu.

INTISARI HADITS

Ada beberap poin yang dapat ditarik dari hadits diatas, diantaranya:

1. Masing-masing dari kedua pasangan suami-isteri memiliki rahasia yang berkenaan dengan hubungan seksual. Rahasia ini biasanya berupa masalah 'pemanasan' yang terjadi antara keduanya ketika akan memulai hubungan seksual atau berkenaan dengan 'aib yang ada pada anggota-anggota badan yang terkait dengan hubungan seksual. Hal ini semua merupakan hal yang paling rahasia diantara keduanya dan keduanya tentu tidak akan menyukai seorangpun mengetahuinya.
2. Oleh karena itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memberikan label sebagai manusia yang paling jelek di sisi Allah dan paling rendah martabatnya terhadap salah seorang dari kedua pasangan suami-isteri yang mengkhianati amanah yang seharusnya dipegangnya. Yaitu tindakan membeberkan kepada orang-orang hubungan seksual yang terjadi antara keduanya atau membeberkan a'ib dari salah seorang diantara mereka.
3. Hadits diatas menunjukkan hukum HARAM terhadap tindakan membeberkan rahasia suami-isteri yang amat khusus, yaitu hubungan seksual yang terjadi diantara keduanya sebab orang yang membeberkannya adalah tipe manusia yang paling jelek di sisi Allah.
4. Islam menganggap hubungan seksual antara suami-isteri sebagai hal yang terhormat dan memiliki tempatnya tersendiri. Oleh karena itu, wajib menjaganya dan hendaknya salah seorang diantara keduanya tidak melampaui batas terhadap hal tersebut dengan membeberkan rahasia salah seorang diantara mereka karena masing-masing sudah saling membebankan amanah agar menjaganya.
5. Dari sisi yang lain, 'pemanasan' antara suami-isteri ketika akan melakukan hubungan badan merupakan sesuatu yang bebas dilakukan karena hal itu dapat membuat masing-masing saling merespon dan dapat membangkitkan gairah. Karena itu pula, di dalam hal ini dibolehkan berdusta. Namun bilamana salah seorang dari keduanya mengetahui bahwa rahasia-rahasia tersebut akan disebarluaskan dan mengapung di hadapan orang sehingga menjadi ajang ejekan atau kecaman, maka sebaiknya menahan hal itu dan merahasiakannya. Akibat dari hal seperti ini (tidak ada rasa saling percaya antara satu dengan yang lain karena takut dibocorkan rahasianya), jadilah hubungan seksual tersebut dingin dan kurang bergairah bahkan bisa berujung kepada kegagalan sebuah rumah tangga atau kegagalan di dalam menyelesaikan hubungan seksual tersebut.
6. Para ulama berkata, "Hanya sekedar menyinggung perihal jima' hukumnya makruh bila tidak ada keperluannya dan dibolehkan bila ada perlunya seperti si suami menyebutkan isterinya sudah berpaling darinya atau sang isteri mengklaim bahwa si suami tidak mampu melakukan hubungan seksual, dan semisalnya."
7. Di dalam hasil keputusan yang dikeluarkan oleh al-Mujamma' al-Fiqh al-Islamiy (Lembaga Pengkajian Fiqih Islam) yang diadakan di Bandar Sri Begawan, Brunei, pada muktamar ke-8, tanggal 1-7 Muharram 1414 H bertepatan dengan 21-27 Juni 1993, disebutkan beberapa poin, diantaranya:
- Bahwa hukum asal dalam rumah tangga itu adalah larangan membeberkan rahasia tersebut dan pembeberannya dengan tanpa adanya keperluan yang dianggap shah, mengandung konsekuensi diberlakukannya sanksi secara syar'i.
- Menjaga rahasia itu lebih ditegaskan terhadap pekerjaan/profesi yang justeru membeberkannya akan menyebabkannya cacat hukum, yaitu profesi kedokteran.
- Ada beberapa kondisi yang dikecualikan di dalam menyimpan rahasia tersebut, yaitu bilamana menyimpan rahasia tersebut akan berakibat fatal dan berbahaya bagi orang yang bersangkutan melebihi bahaya bilamana hal itu dibeberkan. Atau terdapat mashlahat yang lebih kuat di dalam membeberkannya ketimbang bahaya menyimpannya. Dua kondisi ini adalah:
Pertama, Kondisi wajib dibeberkan. Yaitu bertolak dari kaidah "Melakukan salah satu yang paling ringan dari dua bahaya sehingga dapat menghindarkan yang paling berat bahayanya dari keduanya"
dan kaidah "Merealisasikan mashlahat umum yang konsekuensinya harus melakukan bahaya yang berskala khusus guna mencegah adanya bahaya yang berskala umum bila memang menjadi kemestian mencegahnya"
Kondisi ini ada dua macam:
a. Mencegah suatu kerusakan terhadap masyarakat
b. Mencegah suatu kerusakan terhadap individu

Kedua, Kondisi boleh dibeberkan, karena:
a. Mengandung mashlahat bagi masyarakat
b. Dapat mencegah kerusakan yang berskala umum

Di dalam kondisi-kondisi tersebut, wajib berkomitmen dengan prinsip-prinsip syari'at dan prioritasnya dari sisi menjaga dien, jiwa, akal, harta dan keturunan.
Pengecualian-pengecualian terkait dengan kondisi wajib atau boleh dibeberkan tersebut harus dibuat secara tertulis dan legal di dalam kode etik menjalankan profesi terkait, baik kedokteran ataupun lainnya secara jelas dan transparan serta rinci. Wallahu a'lam.

(Sumber: Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm karya
Syaikh 'Abdullah al-Bassam, Jld. IV, h.449-451
Hak Suami Atas Isteri
Allah berfirman : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. 4:1)
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai saru tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228)

1.      Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya : wanita yang bagaimanakah yang paling baik ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : yang menyenangkannya (suaminya) jika ia memandangnya, taat kepadanya jika dia memerintahkan, dan dia tidak menyelisihinya dalam dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dibencinya. HR. Nasa'i.
2.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu dia tidak datang kepadanya, kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknatnya sampai pagi. Muttafaq 'alaih.
3.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidak halal bagi seorang wanita untuk puasa sedang suami berada padanya kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh dia memberikan izin di rumahnya kecuali dengan seizing suaminya pula. Muttafaq 'alaihi.

Keterangan :
Kaum lelaki mempunyai hak yang agung atas kaum wanita, karena kaum lelaki memperhatikan, memelihara dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka dan sebagai balasan atas kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki yang dapat merealisasikan kebaikan bagi pasangan suami istri dan keluarga secara utuh.
Kandungan ayat dan hadits di atas :
1.      Besarnya hak kaum lelaki atas kaum wanita.
2.      Kewajiban kaum wanita (istri) untuk taat kepada suami dalam hal kebajikan  dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, dan bahwa hal tersebut adalah sebab masuk surga bagi kaum wanita.

Hak Isteri Atas Suami
Allah berfirman :
Dan bergaullah dengan mereka ( Istri-istrimu ) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19)

1.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Ya Allah sungguh saya menimpakan kesusahan ( dosa ) kepada orang yang menyia-nyiakan hak dua macam manusia yang lemah yaitu : anak yatim dan wanita ) HR. Nasa'i.
2.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas, kalau kamu meluruskannya maka kamu telah mematahkannya.. Muttafaq 'alaihi.
3.      Dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya bahwa bapaknya berkata : wahai Rasulullah ! apakah hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ? maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : kamu memberi makan kepadanya jika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian dan engakau tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkannya ( tidak berkata : semoga Allah memburukkan wajahmu ) dan tidak meninggalkannya kecuali dalam rumah. HRm Abu Daud.
4.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ( janganlah seorang mu'min membenci wanita mu'minah, karena jika ia membenci suatu sifatnya, maka dia akan ridha yang lainnya darinya. ) HR. Muslim.
5.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan orang-orang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istri-istrinya. HR. Tirmidzi.
6.      Dari 'Amr bin Ahwash radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu hajji wada' : ingatlah ( saya berwasiat kepada kamu agar berbuat baik pada kaum wanita, maka terimalah wasiatku ini terhadap mereka ) dan berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena sesungguhnya mereka pada sisi kalian bagaikan tawanan, dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu. HR. Tirmidzi. 

Keterangan singkat :
Sebagaimana kaum lelaki mempunyai hak atas istri-istri mereka, demikian pula kaum wanita mempunyai hak atas suami-suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak di antara mereka.
Kesimpulan :
1.      Istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.
2.      Wajib berbuat baik kepada kaum wanita.
3.      Bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar selalu bersabar terhadap wanita dan berlemah-lembut kepadanya.
4.      Bahwa wanita pada suaminya bagaikan tawanan yang lemah, oleh karenanya dia harus dikasihani, dibimbing, dilindungi dan diberikan hak-haknya.
5.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebankan dosa kepada mereka yang menyia-nyiakan hak wanita yang berada di bawah tanggungannya.
6.      Bahwa orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang terbaik bagi istri-istrinya.
Ruangan asing yang mengisolasinya dari kehidupan keluarga dan teman-temannya harus dihuni oleh Andang Pradika Purnama selama 52 hari. Keluguan wajahnya belum bisa mengeja makna perlakuan yang diberikan kepadanya. Yang ia ingat sebelum menghuni ruangan tersebut ia telah mengambil dua ekor burung leci milik tetangganya. Pemilik burung tahu, lalu menangkap dan menyerahkannya kepada Pak Polisi. Sementara lima anak sebayanya di lampung ; Nanang, Madroni, Herman, Safrizal dan Samsudi mengalami nasib sama, harus meringkuk dalam tahanan selama 20 hari. Lima kurcaci yang baru kelas 3 SD itu harus menerima sanksi, karena ingin memiliki stiker yang ada dimobil Petrus, salah satu Direktur Artomoro Plaza, Tnjung Karang, Lampung. Dan empat anak yang lain dituntut hukukman 9-11 hari karena telah mencuri kelapa sawit di Medan.

Mencuri kendaraan bermotor telah biasa dilakukan Ris (13 th) selama setahun di wilayah Ampel, Boyolali sebelum polisi itu menangkapnya. Kala itu ia masih duduk dibangku kelas VI SD. Keluar masuk bui sudah menjadi langganan bagi Ucok yang masih SLTP di Jakarta. Mencuri, merampok dan membunuh yang semestinya jauh dari pikiran anak bau kencur seperti dia, telah mengisi hari-harinya.
Sedangkan di Sumenep, Madura, Amr gadis kecil yang baru menginjak umur 12 th tega melenyapkan nyawa sepupunya Ririn (3 th) hanya gara-gara ingin memiliki anting emas si balita.

TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Andang, Ris, Ucok maupun Amr hanyalah beberapa gelintir sosok yang mewakili fenomena kenakalan maupun kejahatan anak. Masih banyak deretan nama-nama dibelakang mereka. Sebenarnya siapa yang salah sehingga mereka berbuat demikian? Mereka sendiri, oarng tua orang-oran gdisekelilingnya, ataukah sistem yang berlaku?
Menyalahkan mereka, menghukum mereka sampai kini belum terbukti menyelesaikan masalah mereka. Bahkan penjara kadang bisa menjadi sekolah yang baik unutk calon penjahat. Sehingga mencukupkan penanganan terhadap terhadap mereka saja adalah suatu keniscayaan yang sia-sia.
Hak yang seharusnya mereka terima, pemenuhan kebutuhan yang seharusnya mereka nikmati, pendidikan yang benar maupun suasana yang kondusif terhadap pertumbuhan maupun perkembangan anak yang baik sudah semestinya diperhatikan.
Kewajiban orang tua terhadapa anak, yaitu mencukupi kebutuhannya baik fisik maupun psikis, mendidiknya, tidak boleh terlalaikan kalu tidak ingin anaknya menjadi penjahat. Sebab rumah merupakan titik awal bagi perkembangan anak untuk selanjutnya. Pemenuhan kebutuhan yang tidak tersedia di rumah bisa mendorong anak untuk mencarinya di luar. Dan ini bisa menjadi pemicu anak untuk melakukan kejahatan. Untuk itu kata-kata sindiran “ jangan jadi orang tua kalau tidak tahu kewajiban orang tua atau tidak mau melaksanakan kewajiban orang tua “ patut direnungkan.
Lingkungan yang baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Karena anak belajar darim kehidupan sekarang. Anak yang hidup ditengah-tengah kekerasan, maka ia akan menjadi bengis. Sedangkan anak yang hidup di tengah kasih sayang dan kedamaian maka ia akan menjadi penyayang dan penjunjung persahabatan. Lebih dari itu, sistem yang berlaku juga menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pola fikir dan pola sikap anak. Sistem pemerintahan yang baik, sistem ekonomi yang baik, sistem sosial yang baik, maupun sistem keamanan ynag baik tentunya akan menentukan corak warga negaranya termasuk anak-anak.
Untuk itu orang tua yang tahu dan memenuhi kewajibannya, lingkungan yang kondusif untuk anak dan sistem yang tepat sama-sama punya andil untuk menghalau kejahatan dari diri anak.

PERADILAN ANAK
Di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan masih merujuk pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) warisan Belanda. Sebab pada kita Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama dengan yang dilakukan oleh anak. Karena itu penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yng diatur jika tersangka khawatir melarikan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengurangi tindak pidana dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut di penuhi, maka tindakan penahanan dianggap sah.
Mengenai definisi anak, sampai sekarang belum ada ketentuan pasti. Batasan umur anak dibawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 th. Pasal 283 KUHP 17, pasal 287-293 (15 th). Sedangkan dalam UU kesejahteraan Anak no 4 Th 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 th. Batas usia minimum anak dapat dimintai pertanggungjawabannya selama ini juga belum ada. Maka wajarlah selama ini penanganan kejahatan anak lebih mengandalkan unsur-unsur subjektivitas aparat penegak hukum. Padahal tindakan itu telah menimbulkan banyak permasalahan baru bagi masa depan anak.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sanksi terhadap kejahatan anak di Indonesia dibebankan kepada anak secara mutlak. Layakkah ?

ATURAN ISLAM
Islam telah memiliki aturan-aturan yang menyeluruh dan pasti terhadap segala permasalahan yang muncul dalam kancah kehidupan. Termasuk di sini, bagaimana penanganan terhadap tindak kejahtan yang dilakukan oleh anak-anak.
Beban hukum dalam Islam harus diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah baligh (dewasa), waras. Dan tidak dalam kondisi lupa. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits :
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَهٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظ َوَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
"Ada tiga golongan manusia yang telah diangkat pena darinya (tidak diberi beban syari'at) yaitu; orang yang tidur sampai dia terjaga, anak kecil sampai dia baligh dan orang yang gila sampai dia sembuh."
 (HR. Abu Daud dan lainnya)
Batas baligh juga sudah ditentukan secara pasti, yaitu laki-laki apabila sudah bermimpi dan wanita apabila sudah haid. Dalam istilah ilmiahnya sudah matang secara biologis bukan matang secara fisik.
Pidana bagi anak-anak yang bersalah dalam Islam dibebankan kepada walinya, yaitu orang tuanya. Karena orang tua wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi oarang baik-baik. Apabila anak menjadi penjahat berarti orang tua tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka orang tualah yang menanggung akibatnya, yaitu diberi sanksi karena kelalaiannya.
Namun disini perlu diingat bahwa dalam Islam, negara juga wajib menciptakan suatu kondisi atau sistem yang menghalangi antara kejahatan dengan warga negaranya. Dengan demikian prasarana maupun sarana yang diwujudkan tidak akan memberi peluang untuk mengantarkan pada tindakan kejahatan. Dan beban orang tua dalam mengarahkan anak pun menjadi lebih ringan. Lebih dari itu negara berkewajiban untuk memberi pendidikan kepada rakyatnya agar mereka mampu menjalankan setiap peran yang menjadi tanggung jawabnya (termasuk orang tua dalam memenuhi hak-hak anaknya).
Kesadaran akan patennya sistem Islam merupakan manifestasi rasa memiliki Islam itu sendiri. Untuk selanjutnya mewujudkan dalam kancah kehidupan adalah alternatif yang harus diambil oleh orang yang masih yakin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.

PUSTAKA Al Qur’an
Kumpulan Hadits Bukhari
An Nabhani, T. Nizhom Al Hukmi fi Al Islam, Darul Ummah. Beirut.
Al Maliki, Abdurrahman. Nizhom Al Uquubat. Darul Ummah. Beirut